KOTA BANDUNG,– Sekretaris Jenderal DPP PA GMNI, Abdy Yuhana, memandang Pancasila sebagai pandangan hidup dalam berbangsa yang tak hadir begitu saja, melainkan melalui proses dan dialektika dalam keberadaannya.
Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno yang menggali Pancasila berdasar logika penggaliannya, tidak terlepas pada konsep geopolitik Indonesia.
Abdy Yuhana melihat, Pancasila hadir menjadi kohesivitas atas pertanyaan tentang apa konsep negara yang cocok bagi bangsa Indonesia sebagaimana pertanyaan Radjiman Wedyodiningrat sebagai ketua BPUPKI.
“Secara substansial pidato bung Karno itu merupakan kehendak untuk merumuskan konsep negara RI merdeka, sebagai penopang eksistensi yang bisa memberikan ruang partisipasi bagi seluruh golongan dan kemajemukan bangsa,” kata Abdy.
Dalam konteks itulah, Pancasila menunjukkan tujuannya. Selain das sollen atau aturan, juga sebagai das sein atau ealitas ideal bangsa Indonesia yang akan dituju.
Kemudian, dalam berbangsa, Pancasila menghendaki bahwa ke Indonesiaan yang sudah diikatkan menjadi semakin kokoh, dan dalam konteks bernegara segala aktivitas kemasyarakatan juga kenegaraan harus bersumber pada konstitusi Indonesia, yaitu UUD 1945 yang ada dalam pembukaannya termuat sila-sila di alinea empat.
“Pancasila memiliki tiga relasi yang kuat, relasi antara individu dengan individu, indivudu dengan Negara, dan individu dengan Allah SWT, Tuhan pencipta alam semesta. Tiga relasi Pancasila tersebut kemudian perlu peran negara untuk mengatur sehingga kehadiran negara dapat dirasakan ada oleh warga bangsa Indonesia,” ujarnya.
Dalam hubungan individu dengan individu, menurutnya, konsep silih asah, silih asih dan silih asuh menjadi hal yang relevan dalam kontek kekinian guna menjaga harmoni sosial di tengah kehidupan masyarakat saat ini yang tampaknya semakin menjauh dari spirit tersebut.
“Konsep hubungan individu dengan negara yang sudah diakomodasi dalam UUD 1945 menjadi hal yang perlu diingatkan lagi karena dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah disepakati konstitusi sebagai acuan bukan yang lain. Ini juga sejalan dengan konsep negara demokrasi konstitusional, yaitu adanya jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia,” katanya.
Pancasila, Abdy memandangnya sebagai bintang penuntun bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan zaman adalah pilihan tepat.
Kini, menurutnya sudah saatnya bangsa mengapresiasi kesepakatan para founding fathers dalam meletakan pondasi negara sekaligus menjadikan Pancasila sebagai falsafah negara yang menjiwai semua aspek kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.
“Kesadaran berbangsa dan bernegara perlu melihat potensi berdasarkan pada geopolitik yang ada. Pandangan Soekarno, Geopolitik Indonesia merupakan satu kesatuan geografis yang melekat dengan jiwa bangsa,” ujar dia.
Sehingga, jadi, relevan jika melihat resources yang dimiliki oleh bangsa Indonesia menjadi negara yang besar dan bersaing dengan negara maju lainnya.
“Pada 2045, Indonesia genap berusia 100 tahun Merdeka, dalam siklus zaman, perubahan adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari,” katanya.
Untuk mencapai ke arah kemajuan negara saat ini, Abdy menyebut Indonesia membutuhkan rute atau arah yang mesti dilalui secara tepat sehingga tidak salah sarah atau salah jalan dalam mencapai tujuan dalam bernegara.
“Mesti sadar pada potensi dan keadaan wilayah yang dimiliki Indonesia. Lalu, ada kesepakatan dalam bernegara yang menjadi acuan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa,” ucapnya.
Kemudian, tak kalah penting adalah sinergitas dalam membangun bangsa, yakni membangun peradaban bangsa, membangun SDM unggul, dan pemerataan juga keadilan pembangunan.
“Nah, itulah rute bagi Indonesia yang saat ini belum dilalui dengan baik. Jika rute tersebut dijalankan dengan baik oleh seluruh komponen bangsa, niscaya Indonesia akan menjadi negara yang besar dan maju sebagaimana yang dicita-citakan menuju Indonesia Raya seutuhnya,” pungkasnya. (adv)